Frates Seminari Tinggi St. Kamilus de Lellis-Maumere Gelar Diskusi Sastra
Sastra merupakan salah satu bidang ilmu yang banyak diminati oleh banyak orang. Sastra diminati karena di dalamnya mengandung nilai estetika dan kaya akan makna hidup. Namun perlu diakui juga, tidak semua orang memahami dengan baik setiap rangkaian kata yang termuat dalam karya sastra. Hal inilah yang terjadi dalam perkembangan sastra di NTT. Di satu sisi, perkembangan sastra di NTT patut diapresiasi, namun pada sisi yang lain perkembangan itu perlu diragukan karena mengingat beberapa kriteria perkembangan sastra belum terpenuhi dengan maksimal.
Perkembangan sastra di NTT mulai diragukan ketika banyak karya sastra yang dilahirkan tidak diimbangi dengan banyak pembaca dan kritikus sastra. Kritikus sastra di NTT mungkin bisa dihitung dengan jari dibandingkan banyaknya karya sastra yang dilahirkan baik di media sosial maupun yang sudah dibukukan. Beberapa persoalan inilah yang mendorong para Frater di Seminari St. Kamilus (Kamillian) mengadakan diskusi ilmiah terkait perkembangan sastra di NTT.
Segenap para frater, filosofan dan teologan bersama-sama menghadiri diskusi ilmiah ini pada Sabtu (26/03/2022), pukul 20.00-22.00 WIT di ruangan makan postulan. Diskusi ini dibawakan oleh Agustt Gunadin, S.Fil dan sebagai penanggapnya ialah Fr. Teobaldus Wildon. Sedangkan yang memoderasi diskusi ialah Fr. Elias Langga.
Agustt dalam pemaparan awal materinya menjelaskan, kondisi perkembangan sastra di NTT saat ini. Menurut Agustt, sebagai masyarakat pencinta sastra, kita patut berbangga karena di NTT saat ini ada beberapa sastrawan yang sudah mencatatkan namanya pada media nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Tempo, Jawa Pos, dan lain sebagainya. Di media-media tersebut kita bisa melihat dan membaca karya-karya sastrawan NTT. Tentu, kita berbangga atas pencapaian yang telah dilakukan sastrawan NTT. Namun, menjadi pertanyaannya ialah berapa banyak karya sastra yang dihasilkan sastrawan dari NTT bernuansa sastra NTT. Artinya karya sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan mewakili situasi dan kondisi masyarakat NTT.
Banyaknya karya sastra yang tersebar di media sosial belum bisa menjadi tolok ukur perkembangan sastra di NTT. Sastra bisa dinilai mengalami perkembangan apabila tidak mengesampingkan tiga unsur penting yakni penikmat atau pembaca, kritikus dan pemerhati sastra (pemerintah) yang turut mendukung perkembangan sastra di NTT. Tanpa ketiga unsur ini, niscaya perkembangan sastra di NTT belum bisa dikatakan mengalami perkembangan yang signifikan. Selain itu, Agust juga secara menarik, membawa peserta untuk berpikir intens tentang sastra dan Kebudayaan di NTT. Secara esensial, karya sastra dan kebudayaan merupakan dua entitas yang bias membentuk eksistensi dan esensi manusia. Ia menjadi agen untuk merepresentasikan budaya NTT. Agust secara tegas menyatakan bahwa, sastrawan belum sepenuhnya menaruh minat untuk menuliskan karya sastra dengan latar belakang budaya NTT. Parahnya, ada sastrawan yang lebih berminat menulis dari kebudayaan di luar NTT. Tentu ini menjadi persoalan yang rumit bagi perkembangan sastra di NTT.
Pada akhir pemaparan materinya, Agust memandang bahwa, sastra di NTT dapat mengalami perkembangan apabila ada kesadaran untuk menulis karya sastra yang menggarap situasi masyarakat dan tema-tema kebudayaan NTT.
Kebudayaan ini menjadi sesuatu yang fundamental bagi karya sastra di NTT. Namun, kenyataan menunjukan bahwa, Sastra di NTT menjadi hilang muncul. Agust berpendapat bahwa, hal ini mungkin terjadi karena perkembangan kritik sastra di NTT masih menggelisahkan. Kegelisahan ini disebabkan karena kritik sastra tidak mampu mengakomodasi perkembangan karya sastra, baik yang sudah dibukukan maupun yang masih beranak-pihak di media sosial lainnya. Sering terjadi bahwa karya sastra terbit dengan cara yang begitu gampang. Selain perlu adanya pengeritik, sastra di NTT juga bisa berkembang apabila penulis, pecinta sastra, serta berbagai komponen mulai dari tingkat instansi pemerintahan, sekolah-pendidikan, komunitas-komunitas sudah saatnya membumikan sastra NTT.
Sebagai penanggap, Wildon tentunya memiliki pandangan yang paradoks terkait perihal membumikan sastra di NTT. Baginya, pemateri terlalu banyak menekankan aspek kegelisahan akan kondisi sastra yang dinilai belum mengalami perkembangan yang signifikan, tanpa memberikan solusi praktis terhadap masalah tersebut. Selain itu, penanggap juga beranggap bahwa, sastra tidak semestinya lahir dengan menggarap beraneka budaya di NTT. Inilah yang ia namakan dengan lokalitas budaya. Tanggapan ini memancing para peserta diskusi untuk merenungkan sastra dan kebudayaan, sembari menikmati kopi panas malam itu.
Pembicaraan tentang karya sastra dan Kebudayaan menjadi paradigma yang kontroversial antara pemateri dan penanggap. Wildon menganggap bahwa, di NTT terdapat begitu banyak pendatang beserta kebudayaannya masing-masing. Hal inilah yang menjadi dasar karya sastra tidak semestinya hanya menggarap kebudayaan yang ada di NTT. Karya sastra bisa lahir dilatar belakangi oleh kebudayaan yang universal. Artinya, kebudayaan NTT tidak serta merta menjadi basis dari karya sastra.
Terlepas dari itu semua, suasana diskusi menjadi semakin menarik ketika dikejutkan oleh pertanyaan dari Fr. Ones yang sedikitnya bertentangan dengan pendapat pemateri dan penanggap. Fr. Ones mempertanyakan terkait dengan kebenaran ilmu pengetahuan antara sains dan sastra. Menurut penannya, pendidikan itu bersifat sains, karena memang, pendidikan itu setidaknya membutuhkan sebuah jawaban yang mutlak. Ones secara tegas mengatakan, sebaiknya sastra dihanguskan saja, karena ia memiliki kebenaran yang relatif. Tentunya hal ini amat berbeda dengan kebenaran dalam sastra. Bagi Agust, sastra memiliki kebenaran sesuai cara tafsir dari masing-masing pembaca. Ia tetap diperjuangkan meskipun kebenarannya berbeda jauh dengan kebenaran dalam sains. Wildon juga menjelaskan bahwa, dalam menafsir puisi, para pembaca bias bertolak dari cara tafsir hermeneutika yakni, dengan melihat konteks, situasi penulis, dan isi puisi tersebut.
Di akhir kegiatan diskusi ilmiah ini, Yuvens, Ketua seksi Akademik Kamillian, menyampaikan profisiat kepada moderator, pemateri, penanggap, serta semua peserta diskusi atas pengorbanan mereka untuk menyukseskan diskusi tersebut. Ia mengatakan, diskusi malam ini sangat menarik dan relevan dengan situasi sekarang ini, di mana karya sastra dengan mudah diterbitkan begitu saja di media online. Diskusi sastra malam ini merupakan salah satu diskusi sastra yang cukup berbeda dengan diskusi sebelumnya yang pernah dilaksanakan di Seminari St. Kamilus. Malam itu menjadi malam yang menarik bagi para pencinta sastra dan semua peserta.
Sebagai penutup semua rangkaian acara, para peserta diskusi dihibur oleh monolog yang dibawakan oleh Fr. Alland Tangu yang berjudul “Selamat Datang di Neraka” karya Rowan Atkinson.
Refly Jerubum, Mahasiswa STFK Ledalero, Pengguni Rumah Filosofan Kamilian-Maumere.